Hasrat Cinta
Cerpen: Baiq Aneta
Fatwi Ditya
“ALEX...!” Sosok Fina datang menghampirinya. Cowok itu diam, dan menunggu berita
apa yang akan disampaikan Fina kepadanya. Masihkah seperti yang sudah-sudah,
beritanya hanya salam dan hanya ucapan salam?.
“Aku mau sampaikan salam”. Tak pelak! Memang berita itu lagi yang
disampaikan gadis itu. “Mengapa sekarang kamu jarang ke rumah?” terornya lagi
pada Alex dengan wajah sedikit cemberut.
Alex mulai melangkah seiring dengan derap kaki mungil milik Fina. Ia gundah,
seakan dunia ini sempit baginya, karena berita yang baru saja didengarnya dari
mulut Fina hanya itu-itu saja. Tidak adakah berita yang lebih manis dan tidak
sekedar menyampaikan salam seorang teman?
“Huh!” Fina menyenggol pundak Alex. Ia ingin pemuda itu menjawab
pertanyaannya segera. Namun Alex tetap bersikap datar dan dingin. “Aku sibuk”,
jawabnya akhirnya.
Fina menyunggingkan bibirnya. Alasan itu benar-benar tak bisa diterimanya.
“Sibuk? Tapi kamu hampir setiap hari ke tempatnya Jaki. Apa itu namanya sibuk?
Kan tinggal sebentar saja kalau mau ke rumah”.
Alex terpojok. Ia tidak bisa lagi menghindar dari sikap ketidakbiasaannya
itu. Ingin ia akui, namun jika hal itu ternyata dianggap tidak wajar ia turut
merasa segan.
“Kamu malu ya, karena ada Dini?”
Alex melirik. Sudut pandangannya seperti tak berdaya melawan tatap mata
Fina yang begitu hangat. “Aku malas. Bukan karena ada Dini. Aku hanya ingin
membagi waktuku bersama teman-teman, itu saja”, jawab Alex datar.
“Apa kalian tidak bosan, hampir setiap hari bersama terus”.
“Hmm....” Alex tersenyum konyol. “Itulah kami, selalu saja ada kegiatan
positif yang kami lakukan”.
“O, ya”. Fina muali sadar. “Kalau begitu nanti ke rumah ya. Barangkali saja
ada yang mau dibicarakan sama Dini”.
Dini lagi! Dini lagi! Alex ngedumel dalam hati. Lelaki itu menelan ludah.
Bukan karena apa-apa. Ia hanya menjadi sungkan dengan Fina. Masa sih,
sedikit-sedikit obrolan, larinya hanya ke Diniii terus. Memang dunia ini penuh
dengan cewek yang namanya Dini? Sampai-sampai yang berinisial Apang, Jaki,
Dedy, Fikri, Ardy, Santi and so on
tak pernah disebut-sebut. Padahal mereka itu teman dekat Alex. Masa sih, mereka
itu kosong dalam pikiran Fina. Padahal salah satu dari mereka juga adalah kakak
kandung Fina sendiri. Ya, Apang adalah saudara Fina. Aneh ya! Tapi untungnya,
Alex tidak merasakan, dunia yang dipijaknya tidak merasa terbalik gara-gara
ulah cewek yang bertitel Fina itu. Huh!
Sebulan telah berlalu, namun pertemuan itu tumbuh menjadi sebuah kisah. Dan
akhirnya bermuara pada kenangan dalam hati Alex. Kenangan itu yang menjadi
obrolan diwaktu senggangnya di rumah Jaki. Seperti biasa, mereka berkumpul di
teras depan rumah sambil memplototi majalah remaja. Sedangkan Apang, Dedy,
Fikri dan Ardy tengah konsentrasi dengan permainan scrablenya.
“Kalau bisa, ya embat saja Lex. Mumpung ada yang mau”. Jaki mencoba
menimpali.
“Huh! Emang aku liku-liku laki-laki yang tak laku-laku?” Alex mendesah. Dia
langsung menyambar kue kering yang ada di dalam toples. “Aku masih tak mau
mikir yang macam-macam”, lanjutnya.
“Kemarin kamu bilang mikirin Fina terus. Apa itu tidak disebut mikir yang
macam-macam?” Jaki menimpali seadanya.
“Buat Fina sih, iya. Tapi dia kan adik teman dekat kita. Masa sih aku
ngeres. Kan jadi tidak enak sama Apang”.
“Alaaaah Apang aja dipikirin. Yang pacaran kan bukan dia. Buat apa menahan
hasrat lantaran si Apang. Mau jungkir-balik sekalipun dia, kalau Finanya mau
sama kamu, mau bilang apa?” Jaki mulai serius.
Apang yang sedang menyusun huruf untuk dijadikan kata dalam permainan
scrablenya tak mau kehilangan konsentrasi. Kendati namanya terus disebut-sebut
dalam obrolan Alex dengan Jaki. Pemuda itu tahu bahkan sangat tahu, Alex
memiliki hasrat yang dipendaminya belakangan ini. Tapi hasrat itu buat siapa?
Buat Fina atau Dini? Justru ini sebuah pertanyaan bagi Apang. Jika hasrat itu
ditujukan buat Fina, itu tak masalah walaupun Fina adalah adik kandungnya. Tapi
jika hasrat yang dipendaminya ditujukan buat Dini, Apang akan membuat
perhitungan dengan Alex. Karena Apang juga sesungguhnya menyimpan hasrat yang
sama. Ya, hasrat cinta yang sudah lama dipendam.
“Maksud kamu apa sih? Tadi kamu bilang embat saja si Dini. Sekarang sampai
Fina mau kau suruh aku gasak saja. Emangnya aku ini tampang play boy?”
Diurungkan niatnya untuk memakan kue kering yang tinggal sepotong itu.
“Ya, play boy cap jempol!” Jaki bangkit dari duduknya. Tawanya yang renyah
membuat suasana jadi sedikit berisik. Teman-temannya yang tengah asyik bermain
scrable menjadi terusik juga. Mereka serentak menoleh ke sumber tawa yang
berderai dari mulut Jaki.
“Brengsek!” Alex menimpali. Kue yang ada ditangannya langsung dilahap
habis. Mata elangnya tak henti-hentinya menatap garang kemana saja alunan
langkah Jaki. Namun ia masih saja menebarkan ejekan-ejekan kecil dari kejauhan.
“Ah, kamu Lex. Kesempatan aja yang nggak ada. Coba kalau ada, bakalan deh kamu
gasak keduanya”.
Mendengar kritikan itu, bukannya Alex jadi berubah tempramen. Justru ia
tertawa kecil menanggapi suara serius Jaki. Namun tertawanya itu masih
kelihatan tidak ‘pas’ karena masih ada yang bergrjolak di dadanya. Baru kali
ini ia merasa bingung untuk menentukan langkah. Bukan hanya karena Fina yang
sepertinya tidak mempedulikan ucapannya dulu. Namun karena Fina sepertinya
membalik kenyataan dengan menangkis rayuan Alex yang tampak seperti sebuah
lelucon dengan memasukkan Dini dalam keseriusannya. Ya, memang Fina kelihatan
tidak begitu serius.
“Dilarang pacaran sama kak Apang” Jawaban itu masih terngiang dalam ingatan
Alex ketika ia bertanya tentang kesendirian Fina. Alex membantah dalam hati.
Yang pacaran kan bukan Apang, kenapa mesti manut. Lagian kan hati tidak dapat
didustai.
Memang benar, pada suatu ketika Alex dan Apang pernah terjadi dialog sesama
mereka. Ketika itu pula Apang menimpali keinginan Alex untuk mempacari Fina
adik kandungnya itu.
“Dia adikku paling bontot lho, Lex. Aku nggak mau kalau terjadi apa-apa
pada dia. Pokoknya aku nggak mau, titik! Aku hanya kuatir saja, Lex. Contohnya
ada kok, lihat kasusnya Budi” Apang terus mengumbar. Karena dia tidak ingin melihat
Fina mengikuti jejak kasusnya Budi. Ya, kehidupan mereka berdua telah hancur
justru karena cinta, cinta yang dibumbui oleh napsu belaka.
Alex masih terbengong. Lamunannya hanyut dalam obrolannya dengan Apang.
Memang benar, beberapa bulan lalu menjelang ujian nasional, Budi dan Dewi harus
menerima kenyataan, mereka walk out,
keluar dari sekolah. Budi harus bertanggung jawab, lantaran Dewi telah berbadan
dua. Konon sekarang mereka tengah menghitung hari kelahiran bayi yang
dikandungnya. “Hah! Aku bukan seperti mereka yang haus birahi” Alex mendesah
dan ia sadar, kekuatiran Apang merupakan sebuah kasih sayang yang diberikan
pada keluarga, ya pada Fina juga.
Alex hanya manggut-manggut. Apang pun sangat menyadari situasi itu. Karena
rasa solider yang tinggi, Apang juga menjelaskan panjang lebar tentang
alasannya melarang Fina pacaran. Tapi itu hanya beberapa minggu lalu ketika
mereka terlibat perdebatan berlabel cinta. Bukannya Alek mau membuka hati Apang
tentang perasaannya terhadap Fina. Sebab Apang sendiri tidak tahu kalau Alex
naksir pada Fina. Cuma, Alex hanya ingin tahu alasan yang sesungguhnya sehingga
Apang tidak merelakan adiknya pacaran dengannya. “Dia masih belum pantes untuk pacaran, Lex”. Ya, kalimat itu
yang masih terngiang dalam lamunan Alex.
“Hei melamun ya!” Jaki menepuk pundak Alex dan pemuda itu kaget.
“Nggak melamun apa-apa kok”. Alex menutupi keterkagetannya itu dengan
menyambar TTS kesukaannya. Ia kian merasa terombang ambing, lantaran Jaki juga
tidak memberikan sugesti yang mantap. Dan sepertinya membiarkan Alex berpikir
dengan jalan pikirannya sendiri. Ya, jalan yang harus ditempuh meski senja
sudah bergulir di ufuk barat.
Sepekan kemudian, Alex bertandang ke rumah Apang. Namun sahabatnya itu
tidak sedang berada di rumah. Yang ada hanya papa dan mama. Dan sudah tentu ada
Fina juga.
“Wah, kebetulan. Kalau jodoh nggak akan kemana. Ada salam kembali dari
Dini!” Fina tersenyum menghambur keluar dari kamar dan menghampiri Alex.
“Bener, nggak main-main” lanjutnya manja. Hal seperti itu sudah biasa dilakukan
semenjak Alex akrab dengan Apang. Wajahnya melongok ke ruang sebelah. “Dini,
kesini dong!”
Alex terperanjat. Ia hampir tak percaya dengan apa yang dikatakan Fina
tadi. Ternyata Dini berada di sebelahnya, hanya terhalang dinding. Astaganaga!
Pasti Dini mendengar segala percakapannya dengan Fina barusan.
“Ayo sini, Din” Fina menarik lengan Dini dengan gerakan spontan.
“Eee, aku malu, Fin”
Suara itu terdengar oleh Alex meskipun Dini hanya berbisik pada Fina. Aneh!
Hati Alex tiba-tiba saja menjadi berguncang, padahal ia tidak memiliki hasrat
dan perasaan pada Dini. Sesungguhnya, perasaan itu hanya ingin dituangkannya
pada Fina. Ya, hanya buat Fina. Namun apa daya, Apang telah memberikan sinyal
lampu merah buat keuatan perasaannya itu. Bukan pada Dini, melainkan Fina,
gadis mungil, centil dan periang itu. Oh, Fina....andai kamu tahu apa yang aku
rasakan......
“Hai!” Dini menyapa Alex seraya melempar senyum.
Alex menoleh dan membalas senyum gadis yang sudah ada di depannya itu.
Wajahnya polos, tulus dan jujur. Sepertinya tak memiliki noda sedikitpun. Fina
pun sama. Alex menyaksikan wajah kedua mahluk Tuhan itu sambil mecoba
menghayati keragaman jiwa dan sikap manusia. Sama dengan keragaman jiwanya yang
sudah mulai pudar oleh rasa keegoisan cintanya.
Sekarang, benih-benih cintanya tak lagi tumbuh dalam hati Fina. Kendati
hasrat itu selalu berguncang manakala bertemu dengan gadis itu. Kapanpun dan
dimanapun, sesungguhnya Fina telah memberikan sisi lain dalam hidupnya. Semua
perasaan itu tertanam begitu dalam. Dan suatu saat, ingin dikenangnya meskipun
hanya dalam hasrat cinta yang dalam. Bagaimana dengan Dini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar